Surat-Kabar, Makassar | Menurut World Health Organization (WHO), sehat adalah keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit dan kecacatan. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa sehat bukan hanya perihal fisik tetapi jauh lebih kompleks. Namun untuk mencapai kondisi sehat yang sempurna, seseorang terkadang luput untuk mempertimbangkan aspek lainnya, salah satunya adalah kondisi psikis atau mental.
Sehat mental merupakan gambaran keadaan jiwa yang tentram dan tenang dalam diri seseorang sehingga memungkinkan untuk beraktivitas dan menjalani kehidupan sehari-hari secara baik. Kesehatan mental di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 didefinisikan sebagai kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya.
Sama halnya dengan kesehatan fisik, kondisi mental juga penting untuk diperhatikan karena berpotensi terganggu atau mengalami masalah yang dapat memberikan dampak pada kehidupan sehari-hari. Orang dengan masalah mental berisiko mengalami gangguan pada perasaan, pikiran, atau perilakunya serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sosialnya sebagai manusia. Kondisi tersebut selanjutnya dikenal sebagai gangguan mental atau kejiwaan sedangkan yang mengalaminya disebut orang dengan gangguan kejiwaan (ODGJ).
Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, prevalensi gangguan mental pada penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas dilihat pada tiga kategori, yaitu skizofrenia (7%), depresi (6,1%), dan emosional (9,8%). Bertolak pada data tersebut, tentunya kita tidak bisa mengabaikan kasus-kasus yang ada karena gangguan mental secara berkepanjangan juga dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik, seperti gangguan pola makan yang mengakibatkan perubahan pada berat badan seseorang. Selain itu, mereka yang hidup dengan gangguan kejiwaan juga memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara manusiawi.
Sayangnya, dalam pengimplementasiannya hak ODGJ belum diberikan secara maksimal terutama hak untuk terbebaskan dari stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Upaya yang tidak tepat untuk mengatasi gangguan mental sering kali terjadi. Sadar ataupun tidak, banyak masyarakat yang telah melakukan pengisolasian dan kekerasan terhadap ODGJ. Tindakan seperti demikian diawali dari fenomena stigma salah yang menganggap ODGJ sebagai makhluk aneh, berbahaya, dan dapat membuat kegaduhan sehingga muncul rasa ragu dan takut untuk berinteraksi dengan mereka. Keraguan dan ketakutan yang kian melekat berakhir dengan pengasingan pada ODGJ dari lingkungan sosial masyarakat. Apalah artinya kehidupan tanpa interaksi sosial? Perlu diingat bahwa manusia termasuk ODGJ adalah makhluk sosial yang butuh kehadiran orang lain untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Salah satu bentuk pengasingan yang masih dilakukan di masyarakat adalah pasung, bahkan dapat dikatakan bahwa pasung sudah menjadi tradisi untuk mengatasi masalah gangguan mental. Sedangkan, tindakan seperti demikian bukanlah satu-satunya alternatif yang ada. Di samping itu, tindakan pasung pada ODGJ dapat memberikan dampak negatif secara psikis, seperti mengalami trauma, merasa diabaikan, dan benci pada keluarganya sendiri. Lebih lanjut, berdampak pada fisik seperti menyebabkan kehilangan jaringan otot pada tubuh yang dipasung ketika dilakukan dalam jangka panjang.
Pernahkah terbesit dalam benak Anda bahwa kompleksitas terhadap permasalahan gangguan mental sebenarnya terjadi karena mereka tidak hanya menanggung beban terhadap masalah kesehatan mentalnya, tetapi juga harus menerima stigma masyarakat sebagai bentuk penolakan akan kehadiran mereka di muka bumi ini. Padahal ODGJ termasuk makhluk bumi yang mempunyai hak untuk menjalankan kehidupan selayak mungkin.
Lantas, tindakan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan mental? Undang-Undang Kesehatan Jiwa menjelaskan bahwa upaya untuk menangani masalah kesehatan mental dapat dilakukan dengan tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya.
Adapun beberapa contoh tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan kejiwaan, yaitu mengembalikan fungsi sosialnya dengan tidak mengucilkan dan memperlakukannya secara kasar, jangan biarkan ODGJ merasa kesepian dan banyak berkhayal, berikan hiburan untuk menenangkan suasana hatinya, ciptakan lingkungan yang kondusif, dan upayakan agar mereka mendapatkan pengobatan secara optimal oleh tenaga kesehatan yang ahli dalam bidang tersebut.
Selain itu, perlu adanya dukungan dari orang lain karena sistem dukungan (Support system) adalah satu hal penting yang dibutuhkan oleh ODGJ. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dengan adanya dukungan dan perawatan dari keluarga, kerabat dekat, ataupun masyarakat di sekitarnya dapat memotivasi ODGJ untuk sembuh dan patuh melakukan pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, keluarga dan masyarakat sebaiknya tidak memberikan stigma yang negatif terhadap ODGJ seperti halnya melakukan isolasi dan pasung karena mereka dapat merasakan ketidaknyamanan, kesepian, terabaikan bagaikan makhluk asing, dan pada akhirnya putus asa untuk memperoleh kesembuhan dan kehidupan yang jauh lebih baik lagi. (**)
Penulis: Wisnah (Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)