Surat-Kabar.com – Sultra | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menuntaskan tahap penyidikan terhadap dua tersangka kasus korupsi pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kedua tersangka, Deddy Karnady dan Arif Rahman, segera menghadapi persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Kendari.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Muhammad Albar Hanafi, menyebut proses pelimpahan berkas perkara dan surat dakwaan kepada majelis hakim telah rampung pada Senin (27/10/2025).
“Proses pelimpahan surat dakwaan dan berkas perkara terdakwa Arif Rahman dkk ke Pengadilan Tipikor pada PN Kendari rampung hari ini,” ujarnya.
Albar menegaskan, kedua terdakwa juga telah dipindahkan dari tahanan KPK di Jakarta ke Rutan Kelas IIA Kendari dengan pengawalan ketat.
“Seluruh proses pemindahan dilakukan dengan pendampingan langsung dari tim jaksa dan pengawal tahanan internal KPK. Kami juga berkoordinasi dengan Kejari Kendari dan Polda Sulawesi Tenggara untuk memastikan keamanan selama proses persidangan,” kata Albar.
Menurut jadwal yang tercantum dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Kendari, sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan akan digelar pada Rabu (29/10/2025) pukul 09.00 WITA. Kedua terdakwa akan dihadirkan langsung di ruang sidang Tipikor.
Kasus ini berawal dari proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur yang diduga sarat praktik suap dan penyalahgunaan kewenangan. KPK sebelumnya telah menetapkan lima tersangka dalam perkara tersebut.
Mereka adalah Bupati Kolaka Timur Abdul Azis (ABZ), Person in Charge (PIC) Kementerian Kesehatan Andi Lukman Hakim (ALH), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek RSUD Ageng Dermanto (AGD), serta dua pihak swasta Deddy Karnady (DK) dari PT Pilar Cerdas Putra (PCP) dan Arif Rahman (AR) dari KSO PT PCP.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa kedua tersangka dari pihak swasta diduga sebagai pemberi suap.
“Mereka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar Asep.
Sementara itu, Abdul Azis dan Andi Lukman Hakim disebut sebagai penerima suap terkait proyek tersebut.
“Keduanya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” tambahnya.
Penyidik KPK menduga pemberian suap dilakukan untuk melancarkan penunjukan pelaksana proyek dan pencairan anggaran pembangunan rumah sakit yang bernilai miliaran rupiah itu.
Pola suap semacam ini, menurut Lembaga Komunita Peduli Lingkungan Ekonomi Sosial (L-Kompleks), sebagai cerminan serius lemahnya pengawasan dan integritas dalam pengelolaan dana kesehatan di daerah.
“Korupsi proyek rumah sakit bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi bentuk pengkhianatan terhadap hak dasar masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak,” tegas Ruslan, dihubungi terpisah, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, proyek-proyek strategis seperti pembangunan RSUD seharusnya menjadi prioritas dengan pengawasan berlapis, bukan ladang transaksi antara pejabat dan kontraktor. “Kita menyaksikan pola berulang: proyek publik disabot oleh elit lokal dengan memanfaatkan celah birokrasi pusat. Ini menunjukkan kegagalan sistem pengawasan lintas instansi,” ujarnya.
Ruslan juga mendesak KPK untuk tidak berhenti pada level pelaksana teknis. “Penyidikan harus menelusuri kemungkinan keterlibatan jaringan politik yang lebih luas, termasuk siapa yang sebenarnya mengatur jalannya proyek dan penunjukan pemenang tender,” tambahnya.
(Ares Junaidi)







