Surat-Kabar, Makassar | Sitem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026 di Sulawesi Selatan (Sulsel) terus menjadi sorotan publik. Lembaga Komunitas Peduli Lingkungan Ekonomi Sosial (L-Kompleks) mengungkap berbagai kejanggalan yang mengarah pada dugaan kuat maladministrasi, penyalahgunaan wewenang, bahkan potensi korupsi dalam pelaksanaan dan pengadaan sistem seleksi tersebut.
Salah satu temuan utama terletak pada format dan legalitas petunjuk teknis (juknis) SPMB yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Sulsel. Dokumen tersebut ditetapkan melalui Keputusan Nomor 400.3/2847/DISDIK yang berjudul “Keputusan Pemerintah Daerah” dan ditandatangani oleh Sekretaris Daerah atas nama Gubernur. Padahal, menurut Pasal 33 ayat (1) Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025, juknis seharusnya diterbitkan dalam bentuk keputusan kepala daerah, yakni oleh Gubernur secara langsung.
“Ini pelanggaran terhadap asas legalitas dan prinsip keterbukaan dalam hukum administrasi,” tegas Sekjen L-Kompleks, Ruslan Rahman. Ia menilai, dokumen tersebut cacat secara hukum karena tidak menggunakan lambang negara, tidak memiliki penomoran resmi dari Biro Hukum, dan tidak ditandatangani oleh kepala daerah secara langsung sebagaimana diwajibkan oleh Permendagri 120/2018.
Lebih lanjut, L-Kompleks juga menemukan bahwa sejumlah perubahan juknis dilakukan melalui surat edaran Kepala Dinas Pendidikan. Beberapa perubahan yang dipersoalkan di antaranya:
• Model penilaian Tes Potensi Akademik (TPA) yang diubah dari bentuk range ke prosentase nilai.
• Perubahan skema perhitungan hasil TPA tanpa landasan metodologis.
• Substansi juknis yang diubah tanpa mekanisme hukum yang sah.
“Surat edaran bukan alat hukum untuk mengatur kebijakan strategis. Ini membuka peluang abuse of power,” lanjut Ruslan.
L-Kompleks juga menyoroti pelaksanaan TPA yang dianggap tidak transparan. Hingga kini tidak ada kejelasan mengenai siapa penyusun soal dan tim verifikasi, metode koreksi yang digunakan, serta parameter penilaian yang terus berubah.
“Ada skoring yang dimodifikasi tanpa pemberitahuan ke publik. Bahkan faktor penilaian berubah-ubah. Ini sangat tidak profesional,” kata Ruslan.
Sejumlah kepala sekolah pun disebut merasa dikorbankan. Mereka mengaku tidak dilibatkan dalam proses teknis maupun kebijakan, tetapi dimintai pertanggungjawaban atas hasil seleksi yang kemudian menuai protes masyarakat.
“Sudah dua tahun kepala sekolah hanya dijadikan tameng atas kebijakan yang mereka tidak tahu-menahu,” ujarnya.
Ruslan juga mempertanyakan dasar hukum pembentukan sekolah unggulan yang menjadi bagian dari seleksi SPMB. Menurutnya, hingga kini tidak ada produk hukum berupa Pergub, Kepgub, atau Perda yang menjelaskan eksistensi dan kriteria penilaian sekolah unggulan.
“Indikatornya berubah sewaktu-waktu, dan tidak pernah diumumkan ke publik. Ini merugikan siswa dan orang tua,” katanya.
Selain aspek administratif dan teknis, L-Kompleks juga menyoroti potensi korupsi dalam pengadaan sistem dan perangkat seleksi SPMB Sulsel 2025. Mereka menuntut transparansi atas sejumlah hal berikut:
1. Besaran anggaran sewa atau pembelian aplikasi SPMB.
2. Spesifikasi teknis sistem yang digunakan.
3. Identitas penyedia aplikasi dan server.
4. Bentuk kontrak dan pejabat yang menandatangani.
5. Proses pengadaan: apakah melalui tender atau penunjukan langsung.
“Tidak ada informasi terbuka soal ini. Jika tidak ada transparansi, maka sangat berpotensi terjadi pelanggaran hukum,” tegas Ruslan, merujuk pada Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
L-Kompleks menyimpulkan bahwa pelaksanaan SPMB 2025 di Sulsel tidak mencerminkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Selain berpotensi melanggar aturan, proses ini dinilai telah mencederai hak dasar warga terhadap pendidikan yang transparan dan adil.
L-Kompleks berjanji akan terus mengawal kasus ini dan siap melaporkan ke Aparat Penegak Hukum atas dugaan tindak pidana korupsi dan Penyalahgunaan Jabatan dan Wewenang yang terjadi pada pelaksanaan SPMB tahun ini. (anr)